Gemajustisia.com - Tuhan menciptakan alam semesta untuk
seluruh makhluk-Nya, termasuk untuk manusia. Pada hakikatnya manusia mempunyai
hak-hak absolut yang diakui secara universal, hak tersebut termaktub sebagai
Hak Asasi Manusia. Hak-hak manusia selama ini banyak
dipahami hanya sebagai hak yang berlaku individual, namun ternyata tidak terbatas
pada hak-hak individu, namun kelompok sosial juga mendapatkan haknya sebagai
manusia, salah satu contohnya adalah hak yang diperoleh oleh masyarakat adat. Masyarakat Adat adalah sekumpulan
komunitas adat yang harus dilindungi eksistensinya. Setidaknya ada 370 juta
orang di dunia yang termasuk ke dalam kategori sebagai anggota masyarakat adat,
berarti setidaknya sekitar 5% dari total penduduk dunia adalah anggota dari masyarakat
adat. Masyarakat adat dinilai oleh para
peneliti identik dengan kehidupan natural atau bergantung dengan alam. Mereka
menggantungkan kehidupannya dengan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu perkembangan industri
dan hal-hal modernisasi lainnya secara langsung maupun tidak langsung akan
merusak eksistensi dari masyarakat adat yang berujung kepada pelanggaran
hak-hak atas masyarakat adat. Dengan demikian, diperlukan instrumen
hukum khusus untuk melindungi seluruh masyarakat adat berikut hak-haknya. Dalam lingkungan internasional, hal ini
tentu mejadi sebuah urgensi, Perjuangan terhadap perlindungan masyarakat adat di
forum internasional bermula pada tahun 1982 dimana the Economic and Social
Council (ECOSOC) membentuk forum khusus untuk membahas populasi adat. Kemudian pada forum tersebut dihasilkan draf perjanjian pertama yang membahas
tentang standar minimum perlindungan terhadap masyarakat adat dan disetujui
pada tahun 1994. Pada tahun 2002, International Labour
Organization (ILO) juga mengangkat isu ini dengan membentuk The Word Commission
on the Social Dimension of Globalization, komisi ini menegaskan bahwa
diperlukan upaya untuk membela hak-hak dari masyarakat adat. Sampai pada
akhirnya United Nation (UN) membuat sebuah deklarasi masyarakat adat yang
dikenal dengan The United Nation on the Rights of Indigenous People (UNDRIP)
pada 13 September tahun 2007. United Nation (UN) tidak begitu saja
membuat sebuah deklarasi tanpa menghimbau negara-negara anggotanya untuk ikut
aktif mengimplementasikan deklarasi tersebut di negaranya masing-masing. Pada
UNDRIP ditegaskan bahwa “Encouraging States to comply with and effectively
implements all their obligations as they apply to indigenous peoples under
international instruments, in particular those related to human rights, in
consultation and cooperation with the peoples concerned.” Artinya deklarasi ini mendorong
negara-negara untuk tunduk dan melaksanakan semua kewajiban yang berlaku
terhadap masyarakat adat sesuai dengan instrumen hukum internasional melalui
konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat adat yang bersangkutan. Kemudian pada Article 42 juga
ditegaskan bahwa “...at the country level, and States, shall promote respect
and full application of the provision of this Declaration and follow up the
effectiveness of this Declaration.” Yang artinya, pada tingkat negara akan
memajukan penghormatan dan pelaksanaan secara penuh terhadap
ketentuan-ketentuan Deklarasi ini dan menindaklanjuti keefektifan pelaksanaan
Deklarasi ini. Peranan hukum internasional dalam
tingkat nasional salah satunya adalah menjadi pakem pembentukan hukum
nasional negara-negara anggotanya, setiap negara anggota suatu organisasi
internasional dihimbau untuk mengadopsi sebuah peraturan internasional ke dalam
hukum nasionalnya masing-masing dengan menyesuaikan keadaan di negaranya. Dalam hal perlindungan masyarakat adat,
Indonesia sendiri merespon deklarasi tersebut dalam banyak peraturan, seperti;
UU pemerintahan daerah, UU Penataan Ruang, juga dengan menetapkan Keputusan
Mahkamah Konstitusi No.35 tahun 2012. Peraturan-peraturan tersebut dibuat
dengan tujuan menjadi penuntas kewajiban Indonesia sebagai negara anggota UN
yang menyetujui UNDRIP. Namun demikian, efektifitas dalam
pelaksanaan produk hukum tersebut belum berjalan sebagaimana yang
dicita-citakan bersama dalam Article 42 UNDRIP. Salah satu realitas yang ada di
Indonesia adalah masyarakat adat yang tinggal di hutan adat Pubabu di Amnuban
Selatan kerap mendapat intimidasi dan diskriminasi dari pihak berwenang,
terkait lahan masyarakat adat yang diklaim oleh Pemerintah Provinsi NTT. Demikian hal seperti ini belum dapat
ditanggulangi dengan wadah hukum yang mumpuni karena Undang-Undang tentang
masyarakat adat yang menjadi inti tanggungjawab Indonesia dalam lebih lanjut
mengadopsi UNDRIP belum disahkan lebih dari satu dekade. Hal seperti ini tentu harus menjadi
perhatian besar Indonesia dan seluruh negara anggota UN, bahwa dengan
dibentuknya deklarasi UNDRIP sebagai wadah internasional perlindungan terhadap
masyarakat adat, mengharuskan setiap negara anggotanya patuh dan berkomitmen
untuk semaksimal mungkin menjalankan seluruh isi dari deklarasi ini, agar perjuangan
masyarakat adat tehdap hak-haknya menjadi tidak sia-sia. Oleh : Urwatul Raisza Wutska
Mahasiswi Magang International Law Student Association
0 Comments