Urgensi Memutus Budaya Diam: Mewujudkan Ruang Aman dan Inklusif pada Satuan Pendidikan SMP Pertiwi Siteba Padang

Law Share
Urgensi Memutus Budaya Diam: Mewujudkan Ruang Aman dan Inklusif pada Satuan Pendidikan SMP Pertiwi Siteba Padang

Gemajustisia.com - Policy brief  ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh member ALSA LC UNAND. sekaligus mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, yang terdiri dari Muhammad Al Fatach, Rayhan Algi Fakhri, dan Ratu Ayu Rabbani. Dengan latar belakang keilmuan di bidang hukum, kami melakukan kajian mendalam mengenai “Urgensi Memutus Budaya Diam: Mewujudkan Ruang Aman dan Inklusif pada Satuan Pendidikan SMP Pertiwi Siteba Padang” melalui pendekatan Yuridis Empiris.

  1. Ringkasan Eksekutif 

Pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku atau perhatian yang bersifat seksual yang dilakukan tanpa persetujuan dan berpotensi mengganggu kenyamanan atau keselamatan penerima pelecehan. Bentuk pelecehan seksual dapat berupa komentar, pernyataan, atau ucapan yang merendahkan, melecehkan, atau mendiskriminasi orientasi seksual dan seksualitas seseorang. Dampaknya Pelecehan seksual dapat menimbulkan dampak yang signifikan bagi korban, antara lain trauma psikologis, penurunan rasa percaya diri, gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi, terganggunya hubungan sosial, menurunnya kinerja atau prestasi di lingkungan kerja maupun pendidikan. 

Budaya diam dalam lingkungan pendidikan, khususnya di SMP Pertiwi Siteba Padang, menjadi penghalang utama dalam upaya menciptakan ruang yang aman dan inklusif bagi peserta didik. Fenomena ini terlihat dari ketidakterbukaan siswa-siswi dalam melaporkan tindakan bullying, pelecehan, dan kekerasan verbal atau non-verbal, yang berdampak langsung pada kesehatan mental, rasa aman, serta partisipasi aktif peserta didik dalam proses belajar. 

Temuan utama dari penelitian menunjukkan bahwa: 

  1. Sebagian besar siswa dan guru menyadari adanya tindakan kekerasan atau diskriminasi di sekolah. Namun, mereka enggan melapor karena takut stigma sosial, tidak percaya pada sistem pengaduan yang ada, dan khawatir mendapat balasan dari pelaku.

  2. Tidak adanya prosedur penanganan yang jelas serta minimnya pendidikan tentang hak-hak anak dan kekerasan berbasis gender.

  3. Sekolah belum sepenuhnya memiliki mekanisme responsif dan preventif yang ramah terhadap korban maupun saksi.

Untuk memutus rantai budaya diam dan menciptakan ekosistem sekolah yang aman, adil, dan inklusif, diperlukan langkah-langkah berikut:

  1. Membentuk unit layanan konseling ramah anak yang mudah diakses. 

  2. menyusun dan mensosialisasi prosedur pelaporan yang aman dan jelas.

  3. Membentuk satuan tugas perlindungan sekolah yang terdiri dari perwakilan atas perwakilan siswa dan guru.

  4. Memberikan pelatihan rutin bagi guru terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.

  5. Mendorong keterlibatan aktif orang tua dan pihak sekolah dalam membangun budaya saling mendengar dan menghargai suara siswa.

II.  Pendahuluan

Pelecehan seksual di lingkungan sekolah merupakan masalah   serius yang dapat mengganggu proses pendidikan dan kesehatan mental siswa. kasus pelecehan seksual ini, terutama di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), seringkali terabaikan dan kurang mendapat perhatian.  Data  menunjukkan  bahwa  banyak  siswa  yang  mengalami  pelecehan  seksual, baik secara verbal maupun nonverbal, yang  berdampak  negatif  pada  perkembangan mereka (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak).

Pada jenjang SMP, peserta didik berada  dalam tahap krusial dalam membangun identitas dan karakter. Oleh karena itu, menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung menjadi kebutuhan mendesak. Kurangnya pemahaman tentang batasan pribadi, rendahnya keterbukaan komunikasi, serta minimnya kesadaran akan hak-hak individu turut meningkatkan risiko terjadinya pelecehan seksual. Banyak siswa  merasa takut melaporkan pengalaman mereka karena stigma dan ketidakpastian respons  pihak  sekolah. Kondisi ini menciptakan siklus ketidakadilan yang merugikan korban.

Lingkungan sekolah seharusnya menjadi ruang yang aman, nyaman, dan mendukung tumbuh kembang peserta didik. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak satuan pendidikan, termasuk SMP Pertiwi Siteba Padang, yang menghadapi tantangan serius terkait budaya diam. Dimana  sikap enggan bersuara terhadap kekerasan, pelecehan, dan perlakuan diskriminatif yang terjadi di lingkungan sekolah. Budaya ini menghambat upaya pencegahan pelecehan sekaligus melemahkan peran sekolah sebagai ruang edukasi yang inklusif dan melindungi hak anak.

Sefia Novita, guru SMP Pertiwi Siteba Padang, menyatakan bahwa pihak sekolah telah memberikan edukasi kepada siswa tentang langkah apa yang harus dilakukan jika mengalami pelecehan seksual. Dalam hal ini, peran guru sangat penting, mengingat tidak semua orang tua sempat memberikan edukasi preventif kepada anaknya karena sibuk bekerja. Oleh karena itu, sekolah memegang peran penting dalam membekali siswa-siswi dengan pengetahuan dan keterampilan pencegahan kekerasan serta pelecehan seksual. 

Berdasarkan Pasal 59 dan 65 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyebutkan

“Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Perlindungan ini wajib diberikan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara untuk memastikan anak tumbuh dan berkembang secara optimal dan aman serta Anak yang menjadi korban kekerasan berhak mendapatkan perlindungan hukum, akses terhadap layanan kesehatan, psikologis, rehabilitasi sosial, serta perlakuan khusus agar tidak mengalami reviktimisasi selama proses pemulihan.” Ketentuan ini menegaskan bahwa setiap anak yang berada di dalam lingkungan sekolah baik di dalam maupun di sekitar lingkungan sekolah, wajib mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan. Negara dan sekolah memiliki tanggung jawab penuh untuk menjamin setiap anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan pelecehan

Sumatera Barat, khususnya Kota Padang, masyarakat menganut filosofi adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah yang bermakna adat, syariat, dan Kitabullah adalah satu kesatuan yang saling menguatkan. Adat Minangkabau tunduk pada syariat Islam yang berlandaskan pada Al-Qur'an. Sehingga filosofi ini bukan sekadar simbol identitas budaya, melainkan pedoman moral dan sosial yang dapat menjadi dasar kuat dalam menyelesaikan persoalan sosial, hukum, dan moral di tengah masyarakat Minangkabau.

Namun, pada praktiknya, nilai filosofi yang dianut kerap melenceng dan bertentangan dengan  realitas di lapangan. kasus kekerasan terhadap anak di Kota Padang, Sumatera Barat, sepanjang tahun 2024 menjadi sorotan serius berbagai pihak. Berdasarkan data Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Padang, tercatat sebanyak 78 kasus kekerasan terhadap anak terjadi hanya dalam setahun dan 31 diantaranya merupakan kekerasan seksual. Angka tersebut menunjukkan bahwa kekerasan, khususnya kekerasan seksual terhadap anak, masih menjadi permasalahan yang mendesak untuk ditangani secara komprehensif, mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan terhadap tumbuh kembang anak dan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. 

Sebagai penguatan dari kerangka hukum perlindungan anak di lingkungan sekolah, Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 menegaskan bahwa satuan pendidikan wajib menjadi ruang aman, nyaman, dan ramah bagi tumbuh kembang anak. Peraturan ini menekankan pentingnya keberadaan sistem perlindungan internal sekolah yang meliputi pencegahan, penanganan, rujukan, dan pemulihan terhadap kasus kekerasan yang dialami anak.  Dalam pasal-pasalnya, dijelaskan bahwa kepala sekolah dan tenaga pendidik harus memiliki pemahaman dan tanggung jawab dalam menciptakan lingkungan bebas kekerasan, serta memastikan setiap anak dilibatkan dalam proses yang menjamin haknya untuk didengar. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis mendalam mengenai pentingnya memutus budaya diam untuk mewujudkan ruang aman dan inklusif pada satuan pendidikan Sekolah menengah Pertama (SMP).

III.  Metode Penelitian

        Penelitian ini menggunakan metode Yuridis dan Empiris, yaitu berfokus pada pendekatan penelitian yang menggunakan data numerik disertai dengan melakukan penelitian lapangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan dua data sekaligus yaitu data primer dan data sekunder, yaitu data yang diperoleh penulis dengan cara melakukan wawancara dengan responden dan observasi langsung serta menggunakan data yang sebelumnya telah diolah oleh pihak lain. Data sekunder mencakup jurnal ilmiah, buku, artikel media, dokumen resmi, literatur, serta hasil penelitian yang berwujud berbagai laporan sumber daya. Untuk memperoleh data primer penulis melakukan wawancara dan observasi langsung di SMP Pertiwi Siteba Padang, sedangkan untuk memperoleh data sekunder penulis melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah penelitian terhadap bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan ini, sebagai referensi untuk menunjang keberhasilan penelitian. Data kepustakaan tersebut digunakan untuk menganalisis dan menafsirkan norma hukum yang berlaku.

IV. Hasil Temuan

Permasalahan utama dalam mewujudkan ruang aman dan inklusif pada lingkungan pendidikan SMP Pertiwi Siteba Padang adalah cara bagaimana agar seluruh warga SMP Pertiwi Siteba Padang tersebut dapat memutus budaya diam dalam menghadapi persoalan mengenai pelecehan seksual di lingkungan sekolah tersebut. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh staff ALSA LC UNAND terhadap salah satu siswa SMP Pertiwi Siteba Padang, yang mana siswa tersebut menyebutkan bahwa masih ada terdapat perlakuan yang dapat menyebabkan seseorang merasakan hal yang tidak nyaman, walaupun tidak sering namun hal tersebut kadang masih terjadi. Salah satu siswa tersebut juga menyatakan bahwa ia hanya tau bagaimana cara menghindari perlakuan atau tindakan yang tidak nyaman tersebut dengan cara menjauhi tindakan tersebut dan meninggalkan apa yang terjadi pada tindakan yang tidak membuat nyaman tersebut.

Sesuai dengan data sebaran kasus pelecehan seksual per 1 (satu) Januari 2025 hingga 14 (empat belas) Juni 2025 jumlah seluruh kasus yang ada itu sebanyak 11.988 (sebelas ribu sembilan ratus delapan puluh delapan). Jumlah kasus yang ada itu juga menunjukkan dan memperkuat jawaban dari salah satu siswa SMP Pertiwi Siteba Padang tersebut, bahwa tetap masih adanya perlakuan pelecehan seksual di lingkungan sekolah, ini menyatakan bahwa dengan adanya pengawasan yang ketat saja itu tidak dapat menjamin lingkungan sekolah itu menjadi aman, di sini kita perlu adanya sosialisasi dan memberikan pengetahuan kepada seluruh warga sekolah, terutama pada siswa dan siswi sekolah untuk dapat melakukan pelaporan terhadap pihak sekolah yang dapat dijadikan tempat mengadu dengan baik dan aman. Dengan melakukan pelaporan tersebut maka budaya diam yang dilakukan selama ini akan terputus dan diharapkan adanya tindak lanjut dari pelecehan seksual tersebut dan mewujudkan ruang aman di lingkungan pendidikan. 

Peran guru dalam mengatasi pelecehan seksual di ranah pendidikan itu sendiri memang cukup penting. Seperti yang dikatakan oleh salah satu guru di SMP Pertiwi Siteba Padang saat melakukan wawancara dengan salah satu staff ALSA LC UNAND yang mana beliau mengatakan bahwa pelecehan seksual itu sendiri memang rentan terjadi di usia remaja ini. SMP Pertiwi Siteba Padang juga telah mengenalkan mengenai pelecehan seksual terhadap siswa-siswinya. Mengenalkan pengetahuan mengenai pelecehan seksual berupa apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang mesti dilakukan apabila mendapatkan pelecehan seksual tersebut. Selain itu, peran guru di lingkungan pendidikan itu sangat penting sekali sebagai pengawas sekaligus sebagai pengarah bagi siswa-siswinya untuk dapat berlaku sesuai dengan apa yang semestinya harus dilakukan saat mendapatkan pelecehan seksual tersebut. 

Ini menunjukkan bahwa selain lingkungan di rumahnya, lingkungan sekolah juga dapat menjadi pengaruh dan penunjang bagi anak-anak remaja dalam menghadapi persoalan pelecehan seksual ini. Selain peran guru sebagai upaya pencegahan dan penanganan pelecehan seksual di lingkungan sekolah, memutus budaya diam juga dapat menjadi penunjang dalam menghadapi persoalan pelecehan seksual yang sudah terjadi terhadap korban. Korban maupun orang-orang mengetahuinya perlu melakukan pelaporan terhadap pihak yang sudah semestinya ada di lingkungan sekolah tersebut untuk dapat dijadikan pengaduan dan penindaklanjutan. Ini sesuai dengan Peraturan menteri pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi Nomor 46 Tahun 2023 pada Pasal 2 mengenai upaya pencegahan dan penangan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dimaksudkan untuk melindungi dan mencegah setiap orang dari kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. 

Salah satu pihak Lembaga Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum UNAND yaitu Bapak Ilhamdi Putra yang menjadi narasumber dalam pemaparan advokasi hukum di SMP Pertiwi Siteba Padang juga menjelaskan bahwa dalam mengatasi pelecehan seksual itu harus melakukan dengan cara yang pertama yaitu saling jaga dan saling mengingatkan, selain itu jika mengetahui ada terjadi pelecehan seksual yang mana harus dilaporkan dan minta didampingi oleh orang yang dapat dipercaya. Jangan diam bagi orang-orang yang mengetahuinya dan bagi korbannya. Bapak Ilhamdi Putra juga memberikan kontak yang dapat dihubungi sebagai pendampingan dalam menghadapi pelecehan seksual, yaitu antara lain pihak Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum, pihak Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan, dan pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang.

Dengan demikian, dengan memutus budaya diam di lingkungan satuan pendidikan dalam menghadapi pelecehan seksual yang ada itu akan memberikan kepastian bagi pihak korbannya dalam menindaklanjuti perbuatan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku. Serta terus memberikan sosialisasi dalam memberikan pengetahuan mengenai pelecehan seksual agar seluruh pihak di satuan lingkungan pendidikan menjadi lebih paham, sadar, dan peduli lagi mengenai pelecehan seksual di lingkungan sekolah ini karena kita semua tau bahwa tindakan pelecehan seksual ini memang dapat membuat seseorang merasa tidak nyaman dan dapat berakibat terhadap kesehatan mentalnya.

V.  Rekomendasi

Berdasarkan temuan yang didapatkan dalam penelitian ini, penulis menyampaikan beberapa saran yang diharapkan dapat mendukung upaya perbaikan serta memberikan masukan yang bermanfaat dalam memutus budaya diam yang dilakukan selama ini di lingkungan sekolah, yaitu:

  1. Melakukan sosialisasi secara rutin tentang pelecehan seksual

Sosialisasi mengenai pelecehan seksual perlu dilakukan secara rutin di lingkungan sekolah agar seluruh warga sekolah, terutama siswa dan siswi, memiliki pemahaman yang benar mengenai apa itu pelecehan seksual, bentuk-bentuknya, dampak psikologis yang ditimbulkannya, serta bagaimana menghadapinya ketika menjadi saksi mata tindakan pelecehan seksual. Edukasi ini dapat disampaikan melalui kegiatan seperti seminar, diskusi kelompok, pemutaran video edukatif, maupun melalui media visual seperti poster dan infografis yang ditempatkan di area strategis sekolah. Selain itu, penting juga melibatkan narasumber profesional dari lembaga pendamping atau ahli psikologi agar materi yang disampaikan lebih tepat dan membekas. Dengan adanya edukasi yang berkelanjutan, diharapkan dapat memutuskan budaya diam yang selama ini terjadi serta diharapkan siswa/siswi menjadi lebih peka, berani bersuara, dan mengetahui langkah yang harus diambil jika mengalami atau melihat tindakan pelecehan.

2. Melakukan Pengawasan yang Ketat dalam Menjamin Keamanan Lingkungan Sekolah

Pengawasan yang ketat merupakan salah satu upaya preventif dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dari pelecehan seksual. Sekolah perlu mengidentifikasi dan memantau area-area yang rawan, seperti toilet, ruang kelas kosong, dan lorong-lorong yang sepi. Pengawasan dapat dilakukan dengan penjadwalan petugas keamanan atau guru piket di jam-jam rawan, serta pemasangan CCTV di tempat-tempat umum yang strategis tanpa mengganggu privasi siswa. Selain itu, melibatkan siswa dalam sistem pengawasan, seperti membentuk kelompok atau memperkuat peran OSIS sebagai pengawas sosial, juga dapat membantu menciptakan lingkungan yang saling menjaga dan peduli. Dengan adanya pengawasan yang menyeluruh, potensi terjadinya pelecehan dapat ditekan lebih awal.

3. Menyediakan Tempat Pelaporan yang aman, rahasia, dan mudah diakses untuk Siswa/Siswi

Penyediaan tempat pelaporan yang aman, rahasia, dan mudah diakses menjadi langkah penting untuk memutus budaya diam yang terjadi selama ini. Tempat pelaporan ini bisa berbentuk ruang konseling khusus dengan guru BK yang sudah mendapat pelatihan penanganan kasus sensitif, kotak aduan tertutup, atau platform digital yang dapat diakses melalui ponsel. Selain itu, siswa juga perlu mendapatkan informasi yang jelas tentang bagaimana mekanisme pelaporan berlangsung, siapa yang akan menangani laporan, dan jaminan kerahasiaan identitas pelapor. Dengan adanya sistem pelaporan yang jelas dan terpercaya, siswa akan merasa lebih aman dan tidak takut untuk berbicara atau meminta pertolongan.

4.    Melakukan Pendekatan terhadap Korban dan Menindaklanjuti Pelaku Pelecehan Seksual 

Pendekatan terhadap korban pelecehan seksual harus dilakukan dengan penuh empati, tanpa menghakimi atau menyudutkan. Sekolah harus menyediakan pendampingan psikologis atau konseling yang membantu korban pulih secara emosional dan merasa didukung oleh lingkungan sekitarnya. Sementara itu, terhadap pelaku, sekolah wajib menindaklanjuti secara tegas sesuai peraturan yang berlaku. Jika pelaku merupakan siswa, bisa diberi sanksi pendidikan dan konseling perilaku; jika pelaku adalah tenaga pendidik atau staf, maka harus dilaporkan kepada pihak berwenang atau instansi terkait. Penanganan terhadap pelaku dan korban harus berjalan seimbang—berorientasi pada keadilan, perlindungan korban, dan pencegahan agar kasus serupa tidak terulang kembali di masa depan.


Research Team: Muhammad Al Fatach, Rayhan Algi Fakhri, Ratu Ayu Rabbani, Mardhiah Syahidah, dan Maharadja Alief

Editor: Redaksi


0 Comments

Leave a Reply