Gemajustisia.com-
Dugaan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus kembali terjadi lagi, diduga
pelakunya adalah seorang oknum dosen. Hal ini diketahui khalayak ramai ketika
si korban
yang merupakan mahasiswa menyampaikan
kekhawatiran yang ia alami melalui
akun instagramnya. Disana korban
menyebutkan bahwa dirinya telah mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari salah satu oknum
dosen tersebut. Menanggapi
dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus, Indira
Suryani, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, mengatakan bahwa kasus
kekerasan seksual di lingkungan kampus sudah menjadi realita sosial. Hal ini, seharusnya menjadikan alasan kampus
untuk berbenah diri dan memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Menurut pandangan Indira, tingkat kerentanan teradinya
kekerasan seksual sangat tinggi dikarenakan adanya relasi kampus antara pelaku
dengan orang-orang di dalamnya. “Mestinya
kampus harus memberikan keadilan terhadap korban, bukan malah menutup kasus
dengan niat ingin melindungi nama baik kampus,” ujarnya memberikan tanggapan via
whatsapp pada wartawan Gema Justisia, Kamis (15/06/2023). Sepengetahuan Direktur LBH tersebut , bahwa
dulu tindakan kekerasan seksual ini tidak dianggap sebagai kejahatan dan hanya
menjadi buah bibir atau gosip di kampus, dikarenakan tidak adanya
media pelaporan atau memproses kasus tindakan seksual. "Kekerasan seksual di kalangan anak muda seperti meraba atau memegang
sesorang tanpa persetujuan hanya dianggap sebagai bentuk kenakalan remaja.
Budaya seperti itulah yang menjadikan tindakan kekerasan seksual tidak bisa
ditolerir lagi dan butuh regulasi yang mengatur untuk itu," tambah Indira. Adanya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(TPKS) dan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Kekerasan Seksual mengatur larangan terhadap tindakan-tindakan
seksual akan menjadi regulasi yang akan memberikan perlindungan terhadap
korban. “Pasal
5 Permendikbud Nomor 30 yang harusnya menjadi perubahan, yang dulunya tindakan
itu tidak dikatakan sebagai kejahatan, sekarang dengan regulasi itu bisa
dikatakan kejahatan,” jelas
wanita yang bergerak di lembaga bantuan
hukum tersebut. Kurangnya pemahaman
tentang kekerasan seksual, menyebabkan penyempitan makna kekerasan seksual itu
sendiri. "Kekerasan
seksual bukan hanya berupa perkosaan atau menyerang langsung organ seksual
seseorang, tetapi pelecehan verbal seperti catcalling, mengeluarkan bahasa
sensual, bahkan menggunakan gestur yang melecehkan sudah dikategorikan tindakan
kekerasan seksual, hal
ini juga sudah ditegaskan dalam Pasal 5 Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021," jelas Indira dengan menyebutkan regulasi hukum
terkait. LBH
Padang sudah pernah mendampingi kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Indira berharap dengan
adanya UU TPKS dan Permendikbud Nomor 30 ini bisa mengubah paradigma tentang
kekerasan seksual dan menjadikannya sebagai upaya preventif dalam menangani
kasus kekerasan seksual. “Banyak
hal bisa terjadi antara mahasiswa sesama mahasiswa, mahasiswa dengan dosen,
mahasiswa dengan tenaga pendidik, atau bahkan dosen dengan dosen,” tambah
Direktur LBH tersebut. Ia berharap dalam proses penegakkan hukum kasus kekerasan
seksual para korban bisa mendapatkan keadilan, bagaimana korban benar-benar didukung
dan diproteksi, korban diberikan pemulihan dan pelaku kekerasan seksual dapat
dijatuhi hukuman serta direhabilitasi agar tidak melakukan perbuatan yang sama
dikemudian hari. “Hal
itu merupakan yang terbaik untuk menciptakan sebuah perubahan agar tidak ada
lagi pelaku-pelaku yang bermetamorfosis atau lahir dari
proses-proses itu. Jadi efektivitas penegakkan hukum yang tegas itu berdampak
kepada minimnya predator yang ada di kampus,” ujar
Indira diakhir wawancara. Reporter: Winada Andika & Annisa Fitri Zalvia
0 Comments