Gemajustisia.com- Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2022 mengenai Cipta Kerja (Perppu Cipta
Kerja) yang diterbitkan oleh pemerintah pada Desember lalu. Kembali menjadi
topik pembicaraan dipelbagai kalangan masyarakat. DPR mengesahkan Perppu
tersebut menjadi undang-undang dalam rapat paripurna ke-19 masa sidang IV pada
21 Maret 2023. Padahal sebelumnya, Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (UU Cipta Kerja) telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Penetapan inkonstitusional bersyarat
oleh MK ditujukan agar pemerintah dapat memperbaiki undang-undang yang dinilai
cacat formil ini dalam jangka waktu 2 tahun. Namun, bukannya memperbaiki UU
Cipta Kerja tersebut dalam tenggat waktu yang telah ditentukan, Presiden malah
menerbitkan Perpu Cipta Kerja dengan dalih adanya keperluan yang mendesak. Hal ini tentunya menimbulkan banyak
pertanyaan. Hal mendesak seperti apa yang mendasari presiden untuk menerbitkan beleid ini dan tidak menuruti
putusan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Secara tidak langsung penerbitan
Perppu Cipta Kerja oleh Presiden dapat diartikan sebagai perbuatan melangkahi
putusan MK karena tidak melaksanakan perintahnya untuk memperbaiki UU Cipta
Kerja dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Lahirnya
Perppu Cipta Kerja ini, menurut pemerintah didasari oleh keadaan ekonomi dunia
yang diprediksi akan mengalami resesi global di tahun 2023. Dengan banyaknya
perubahan kebijakan yang dilakukan oleh berbagai negara pada masa darurat
Covid-19 membuat pemerintah menilai bahwasanya tahun ini menjadi tahun yang
sangat penting bagi Indonesia dalam mencegah dampak dari krisis ekonomi global
tersebut. Selain untuk membuka kesempatan
seluas-luasnya untuk investor asing menanamkan modalnya di Indonesia. Perppu
Cipta Kerja yang baru saja disahkan ini disinyalir juga ditujukan guna
menciptakan banyak lapangan kerja dan mendorong sektor-sektor perekonomian
kecil agar dapat terus beroperasi dan berkembang. Hal ini semata-mata ditujukan
untuk mengatasi krisis ekonomi global sekaligus memanfaatkannya menjadi
kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonomi di Indonesia. Di sisi lain, walaupun penerbitan
Perppu telah menjadi hak subjektif yang dimiliki oleh presiden. Akan tetapi,
presiden tidak dapat menerbitkan Perppu begitu saja. Ada 3 kriteria keadaan
tertentu yang telah ditetapkan oleh MK dalam putusan Nomor 138/PUU-VII/2009
agar dapat dikatakan sebagai sesuatu kepentingan yang mendesak, yaitu: (1)
terdapat sebuah kepentingan mendesak untuk menyelesaikan suatu permasalahan
hukum secara cepat, (2) peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan
tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, (3) membutuhkan waktu
yang lama untuk menciptakan UU baru untuk menyelesaikan kepentingan yang
mendesak tersebut. Jika kita telaah kembali, urgensi atas
Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan oleh Presiden hanya seperti ilusi yang
pemerintah ciptakan sendiri. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh MK,
kriteria akan kekosongan hukum untuk keadaan UU Cipta Kerja ini sama sekali
tidak terpenuhi karena faktanya UU Cipta Kerja yang telah ditetapkan
inkonstitusional bersyarat oleh MK masih dinyatakan tetap berlaku sampai adanya
perbaikan dalam UU tersebut dengan batas waktu yang telah ditentukan. Sejalan
dengan itu, kriteria ketiga mengenai kepentingan yang mendesak ini juga tidak
terpenuhi karena MK telah memberikan jangka waktu selama 2 tahun untuk memperbaiki
UU Cipta Kerja ini agar tidak inkonstitusional secara permanen. Jika memang tahun 2023 ini telah
diprediksi akan menjadi tahun penting dalam memperbaiki perekonomian di
Indonesia serta mengatasi akibat dari resesi global yang akan terjadi. Seharusnya
pemerintah Indonesia lebih memfokuskan kinerjanya untuk memperbaiki UU Cipta
Kerja, yang secara nyata dinyatakan cacat formil oleh MK. Sehingga diharapkan dalam
pembentukannya sesuai dengan kaidah peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Jangka waktu selama 2 tahun yang diberikan oleh MK dapat dikatakan lebih dari
cukup untuk memperbaiki UU Cipta Kerja tersebut. Namun, bukannya
memperbaikinya, pemerintah dinilai lebih memilih jalan pintas dengan
menerbitkan Perppu mengenai Cipta Kerja dan diperparah dengan sikap DPR yang
melegitimasinya menjadi UU. Seperti yang telah diketahui, putusan
mengenai penetapan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat ini
disebabkan karena adanya proses dari pembentukan UU tersebut yang tidak sesuai
dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, MK juga menilai
pembentukan UU Cipta Kerja ini tidak memenuhi asas peraturan perundang-undangan
yang ada dan tidak melibatkan partisipasi dari masyarakat umum dalam proses
pembentukannya. Dengan begitu, pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU ini
memperlihatkan tidak adanya itikad dari Pemerintah dan DPR untuk memperbaiki
proses yang salah dari pembentukan undang-undang tersebut. Protes mengenai pengesahan Perppu Cipta
Kerja menjadi UU ini tidak hanya dilayangkan oleh kaum buruh, akan tetapi juga
banyak menuai protes dari aktivis lingkungan. Mereka menilai, Perppu Cipta
Kerja yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada investor asing membuat
perizinan usaha mereka terbuka penuh serta berpeluang pada pembukaan lahan
ilegal. Hal ini dapat dilihat misalnya dari dihapuskannya ketentuan yang
sebelumnya terdapat dalam UU Kehutanan mengenai pengaturan luas kawasan hutan
yang harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai atau
pulau dengan sebaran yang proporsional. Tidak adanya ketentuan mengenai batasan
minimal untuk mempertahankan hutan tersebut akan mempermudah para pengusaha
membuka lahan seluas-luasnya tanpa memperdulikan lingkungan. Dengan beralih fungsinya lahan hijau menjadi
kawasan industri ini tentunya akan menimbulkan perubahan cuaca dan iklim yang
ekstrim di wilayah Indonesia. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan
penetapan Perppu Cipta Kerja ini memang merupakan perihal penting untuk menjaga
kestabilan ekonomi dan menjadi kesempatan emas dalam memperbaiki perekonomian
di Indonesia. Namun, perihal penting ini tidak memenuhi standar urgensi yang
telah ditetapkan oleh MK untuk dikatakan sebagai kepentingan mendesak agar bisa
mengesahkan sebuah Perppu.
Keadaan seperti ini tentunya tidak akan membuat citra
pemerintah dan DPR membaik dikalangan masyarakat. Justru dengan pengesahaan
Perppu menjadi UU tanpa mendengarkan aspirasi dari masyarakat dan mengabaikan
perintah dari MK membuat citra pemerintah dan DPR kian memburuk. Masyarakat
dapat memberikan penilaian bahwasanya pemerintah tetap berkeinginan kuat untuk
mengesahkan Perpu ini demi kepentingan
golongan tertentu semata. Terbukti tanpa merubah pasal-pasal yang bermasalah
dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Opini: Resti Chairunnisa Devara (Kombad Justitia)
0 Comments