GemaJustisia.com-Fakultas
Hukum Universitas Andalas (Unand), menyelenggarakan kuliah umum "Guest
Lecture" dengan topik "Justice Collaborator dan Permasalahannya"
di Ruang Sidang Dekanat, pada Kamis (27/10/2022). Materi
dalam kegiatan ini diberikan langsung oleh Prof. Dr. Bambang Waluyo S.H., M.H,
selaku Dosen UPN Veteran Jakarta
sekaligus mantan Jaksa Agung Muda Pembinaan periode 2013-2018. Bambang
menjelaskan terkait masalah penegakkan hukum di Indonesia, yang saat sekarang semakin
mendapat sorotan tajam dari publik. Mengingat bahwa kejahatan terorganisir dan
sulit diungkap semakin marak terjadi. Dalam rangka penyelesaian suatu perkara tindak
pidana, berbagai macam cara dilakukan aparat penegak hukum untuk mengungkapkan kebenaran, salah satunya
melalui Justice Collaborator. Istilah
Justice Collaborator kerap digunakan dalam penangan perkara pidana.
Justice Collaborator merupakan seseorang
pelaku tindak pidana (Saksi pelaku) yang bersedia untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum
untuk membongkar sebuah kasus tindak pidana. Tidak
semua pelaku tindak pidana dapat menjadi Justice Collaborator ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: Pertama merupakan
salah satu pelaku (penyertaan), berdasarkan
pasal 55 ayat 1 KUHP yakni mereka
yang melakukan, yang menyuruh melakukan,
dan yang turut serta melakukan perbuatan. Kedua
bukan pelaku utama, akan tetapi ikut melakukan tindak pidana tersebut. Ketiga harus
mengakui bahwa ia memang telah melakukan
tindak pidana tersebut. Keempat
bersedia menjadi saksi, dalam hal ini yang diminta adalah kesiapan dari justice collaborator untuk
memberikan kesaksian yang sejujur-jujurnya. Berdasarkan
UU No.31 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban pasal 10
mengatur bahwa Justice Collaborator harus diberikan penanganan secara khusus baik dalam
kesaksian, persidangan, dan ruang tahanan. Selain itu juga akan mendapatkan perlindungan baik fisik
maupun psikis dan juga perlindungan hukum. Bambang
juga menjelaskan terkait keuntungan menjadi Justice Collaborator, yakni akan
mendapatkan tuntutan ringan, hukuman
percobaan, mendapatkan remisi/remisi tambahan dan ruangan tahanan yang
dibedakan dari tahanan lain. Indonesia
saat ini tengah dihadapkan pada salah satu kasus yang menggemparkan satu tanah
air yakni kasus embunuhan Brigadir
Joshua, oleh anggota aparat penegak hukum yakni Kepolisian Republik Indonesia. Jika
dikaitkan dalam Justice Collaborator, salah satu tersangka dalam pembunuhan ini
berposisi sebagai Justice Collaborator
yakni Bharada E. Dalam kasus ini Bharada E mengajukan kepada hakim untuk
menjadi Justice Collaborator, yang artinya Bharada E siap untuk membantu
penegak hukum. Bharada
E siap mengakui kesalahannya dan membuka kasus pembunuhan yang melibatkan
atasannya tersebut, guna memudahkan penegak hukum untuk mengetahui kebenaran
faktanya. Sebenarnya
Justice Collaborator selain menguntungkan dalam mengungkapkan suatu fakta dari
kasus yang sulit diungkap, disisi lain juga dapat menjadi permasalahan. Salah
satunya ketika beberapa narapidana koruptor pada bulan September lalu
dibebaskan. Narapidana
koruptor tersebut bukan merupakan Justice Collaborator ,tetapi karena ada
perubahan PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP No.32 Tahun
1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Sehingga narapidana koruptor yang tidak berjasa kepada negara tersebut mendapatkan
pembebasan bersyarat. Namun,
dalam prakteknya ada narapidana yang tidak berjasa kepada negara yang tidak
ingin menjadi Justice Collaborator mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung, yang meminta supaya PP tersebut
dicabut karena dirasa tidak manusiawi serta tidak sesuai dengan HAM. Akhirnya Mahkamah Agung melalui Putusan MA Nomor
28P/HUM Tahun 2021 terkait Justice Collaborator, yang isinya terkait pencabutan
remisi narapidana kasus kejahatan luar biasa seperti, terorisme, narkoba dan
lainnya. Kemudian lahirlah Permenkumham Nomor 17 Tahun 2022, sehingga semua
narapidana mempunyai hak yang sama. Justice
Collaborator memiliki peran yang penting bagi negara. Seorang Justice
Collaborator nantinya akan mendapatkan penghargaan dari badan kementerian
maupun dari presiden atas kerjasamanya. Justice Collaborator ini dulunya
dikenal dengan istilah “Saksi Mahkota”. Reporter: Saripah Rahmani & Salsabilla
Dosen
UPN Veteran Jakarta itu menyebutkan, bahwa pelaku yang dapat menjadi Justice
Collaborator ini adalah saksi pelaku dengan itikad baik. "Nantinya yang
akan menentukan apakah dia seorang Justice Collaborator atau tidak adalah hakim. Identitas dari seorang Justice
Collaborator harus dijaga demi kepentingan persidangan dalam mengungkap tindak pidana," ujar
Bambang.
0 Comments