Pelecehan Seksual Delik Biasa Atau Delik Aduan?

Liputan dan Berita
Pelecehan Seksual Delik Biasa Atau Delik Aduan?

Gemajustisia.com- Penghujung tahun 2022 yang lalu, Universitas Andalas (Unand) dihebohkan dengan kasus pelecehan yang dilakukan oleh salah seorang oknum dosen dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Dalam kasus ini, terungkap ada  8 orang mahasiswa yang menjadi korban.


Kyalayak ramai yang mengikuti perjalanan kasus ini berpandangan, bahwa perbuatan pelecehan merupakan hal yang tercela dan seharusnya tidak dilakukan. Terlebih lagi dalam hal ini si pelaku adalah seorang tenaga pendidik. Selain itu, berbagai elemen internal dan eksternal kampus juga mendesak pihak Unand untuk segera mengambil tindakan hukum dalam kasus tersebut.

 

Dosen Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Unand, Nani Mulyati, memberikan pandangannya terkait kasus pelecehan tersebut jika ditinjau dari aspek hukum pidana. Secara umum, terkait kasus ini Nani menyebutkan bahwa terdapat 2 jenis delik atau perbuatan yang dapat dikenakan hukuman dalam tinjauan hukum pidana, yakni delik biasa dan delik aduan.

 

Delik biasa adalah jenis perbuatan yang dapat dikenakan hukuman atau tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan, dalam hal ini aduannya tidak harus diadukan oleh korban melainkan bisa oleh siapa saja yang mengetahui tindak pidana tersebut. Sedangkan delik aduan adalah jenis tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan dengan kata lain aduannya hanya bisa diadukan oleh korban, keluarga korban, atau pihak tertentu yang dijelaskan di dalam KUHP.

 

“Pelecehan seksual kasus Dosen FIB ini bukan delik aduan tapi tergolong dalam delik biasa. Artinya polisi bisa memproses hukum tanpa perlu ada pengaduan dari pihak-pihak yang secara khusus disebutkan oleh undang-undang. Siapapun yang mengetahui adanya tindak pidana boleh melakukan proses pelaporan,” ujar Nani yang juga menjabat sebagai Wadek I FH Unand, saat diwawancarai di ruangannya, Kamis (02/03/2023). 

 

Lebih lanjut, Nani menjelaskan alasan kenapa pihak kampus tidak menempuh jalur hukum terkait kasus pelecehan tersebut. Pada dasarnya Hukum Pidana mendahulukan kepentingan korban, terutama dalam kasus pelecehan yang sangat sensitif. Untuk memproses sebuah kasus harus adanya persetujuan korban, meskipun tidak wajib, namun harus memikirkan kepentingan dan kemauan korban. Hal ini dikenal dengan istilah Viktimologi. 

 

Meskipun tidak menempuh jalur hukum karena permintaan korban, sanksi administrasi dan etik tetap berjalan. Sebagaimana Rektor Unand, Yuliandri, sudah memberikan usul pemecatan secara tidak hormat ke pusat.

 

“Karena PNS itu SK nya dari pusat, sehingga Rektor tidak bisa memecat sendiri harus diusulkan. Jadi sanksi administratif dijalankan namun memang untuk sanksi pidana, proses hukum acara pidananya tidak dilanjutkan, memperhatikan kepentingan korban,” kata Nani saat ditanyai terkait sanksi dari pelaku. 

 

Selain itu, Nani juga berpandangan bahwa jika kasus ini ditempuh jalur hukum, maka akan menimbulkan traumatis yang mendalam bagi korban. Mengingat korban harus menjalani proses pemanggilan, pemeriksaan, memberikan keterangan, akan bertemu lagi dengan pelaku, dan hal lainnya. Tentu serangkaian proses tersebut akan menjadi  sesuatu yang tidak nyaman bagi korban. 

 

Dalam hal ini, Unand sudah memastikan para korban tidak ingin diproses dalam hukum pidana karena traumatis itu. “Traumatis untuk datang ke kantor polisi, memberikan keterangan berjam-jam, apalagi harus ketemu lagi dengan pelaku, itukan membangkitkan trauma yang sudah berusaha untuk dilupakan, belum lagi kalau sampai identitasnya terbuka ke publik,” ujar Nani. 

 

Nani juga menjelaskan terkait alat bukti dalam kasus pelecehan yang sangat rumit untuk di dapatkan. “Sanksi akan susah untuk dihadirkan dalam sebuah perkara pelecehan seksual, Ahli dapat dilakukan pengecekan secara Scientific, setelah dilakukan pelecehan maka salah satu hal yang dapat dilakukan adalah visum, surat juga susah karena butuh surat yang otentik, petunjuk bisa salah satunya adalah video, rekaman, dan percakapan chat WA,” kata Nani.

 

Adapun alat bukti yang diatur dalam regulasi Hukum Pidana, tepatnya didalam Undang-Undang No.1 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 184 (1) disebutkan bahwa alat bukti yang sah terdiri dari: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. 

 

Selain itu didalam Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan terkait dengan Pembuktian. Bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila ada dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

 

“Kalau itu tidak ada maka tidak bisa dipidana, sebelum sampai ke persidanganpun pastikan polisi melakukan penyidikan, penetapan tersangka juga dengan dua alat bukti,” jelas Nani masih terkait alat bukti. 

 

Menyoal soal alat bukti berupa rekaman vidio kejadian ataupun rekaman suara, Wadek I tersebut juga menjelaskan bahwa bukti tersebut sah secara hukum. Meskipun di dalam KUHAP itu tidak termasuk alat bukti, tapi dengan adanya UU ITE itu diatur sebagai alat bukti. 

 

Resiko lain yang harus dihadapi oleh korban ketika kekurangan alat bukti adalah pada saat menempuh jalur hukum nantinya, besar kemungkinan akan dilaporkan balik oleh pelaku atas tuduhan pencemaran nama baik. Hal tersebut tergantung apakah aparat kepolisian menilai kasus itu layak untuk diproses atau tidak.

Tidak ada aturan yang memperberat seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) ketika melakukan tindak pidana. Namun, dalam konteks kasus ini si pelaku merupakan seorang tenaga pendidik yang seharusnya memberikan perlindungan hukum kepada mahasiswanya, tetapi malah menjadi korban kebejatan seksual. 

Nani berpandangan maraknya kasus pelecehan yang terjadi di lingkungan kampus saat ini adalah bentuk dari degradasi moral. Ia melihat bahwa degradasi moral tersebut dapat diselesaikan bukan dengan hukum pidana, melainkan memperbaiki pola perilaku dan pendidikan agama seseorang. 

 

Dalam hukum pidana terdapat asas Ultimum Remedium, dimana hukum pidana tersebut dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakkan hukum setelah upaya pencegahan dan administratif tidak berhasil. “Kalau dari sisi hukum pidana dia akan memproses suatu pelanggaran hukum yang merupakan suatu tindak pidana, tapi apakah dengan menghukum pidana seseorang itu akan terjadi penurunan tindak pidana itu, belum tentu juga,” ucap Nani diakhir wawancaranya bersama wartawan Gema Justisia.



Reporter: Susan Ellis & Ismi Azizah 

Editor: Resi Nurhasanah

0 Comments

Leave a Reply