Gemajustisia.com-Bagaikan duri dalam daging yang
tak kunjung hilang, kasus asusila di Indonesia tak hanya meresahkan, namun juga
meninggalkan luka hingga trauma yang mendalam bagi para korban, keluarga, dan
masyarakat. Fakta di lapangan juga menunjukan bahwa kasus ini kian marak,
hingga merenggut rasa aman dan mencederai nilai-nilai moral bangsa. Data Komnas
Perempuan menunjukan bahwa pada tahun 2022, tedapat 338.496 kasus kekerasan
terhadap perempuan, termasuk 3.676 kasus permerkosaan dan 10.244 kasus
pencabulan. Data ini tak hanya bersifat statistik semata, melainkan
representatif dari tragedi yang merenggut hak dan martabat manusia. Maraknya kasus asusila
menciptakan rasa takut dan rasa tidak aman bagi perempuan di berbagai ruang
publik maupun privat. Hal ini dapat membatasi mobilitas mereka, serta memicu
kecemasan hingga stress. Sehingga dapat memengaruhi kesehatan mental, hubungan
sosial, dan kualitas hidup mereka. Budaya patriarki dan misoginis yang masih
kuat di Indonesia membuat perempuan rentan mengalami diskriminasi dan
objektifikasi. Hal ini memperparah kerentanan mereka terhadap tindakan asusila.
Kekhawatiran pun muncul, di mana anak-anak tak luput dari jeratan predator
asusila. Data menunjukkan 2.957 kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2022,
dengan 638 kasus merupakan persetubuhan dan pencabulan. Hal ini disebabkan juga
karena ketidakberdayaan mereka (para korban)
kian memperparah situasi. Tak hanya korban, keluarga pun merasakan
dampaknya. Rasa malu, stigma sosial, dan beban ekonomi menjadi konsekuensi yang
harus ditanggung. Kepercayaan dan keharmonian keluarga pun tercoreng sehingga
meninggalkan luka yang tak mudah disembuhkan. Dilema peradilan pun muncul dalam
menangani kasus asusila. Dualisme sistem peradilan, antara peradilan umum dan
adat, terkadang saling berbenturan. Di satu sisi, KUHP dengan pasal-pasal
terkait asusila seperti pencabulan, pemerkosaan, dan perzinahan, menjadi
landasan hukum utama. Yang mana
peradilan umum berfokus pada aspek pidana dan pemberian hukuman atau
sanksi yang tegas kepada pelaku asusila. Adapun pasal-pasal yang mengatur
mengenai delik kesusilaan yaitu Pasal 281 KUHP sampai Pasal 290 KUHP, serta Pasal 292 KUHP. Namun di sisi lain, hukum adat memiliki
aturan dan norma tersendiri mengenai
kesusilaan yang tak jarang berbeda
interpretasi. Seperti contohnya, peradilan adat lebih mengedepankan aspek
keseimbangan komunitas dan pemulihan hubungan sosial antara pihak yang
terlibat. Dualisme sistem peradilan ini semakin memperumit sistuasi. Dilema ini
berakibat pada lambatnya proses hukum dan ketidakadilan bagi para korban. Korban
pun harus menanggung beban trauma dan
stigma, tanpa kepastian hukum yang jelas. Dilema peradilan ini harus segera
diurai. Diperlukan solusi yang komprehensif dan mempertimbangkan berbagai
aspek, mulai dari hukum pidana, hukum agama, hingga kemaslahatan korban. Peradilan umum maupun peradilan
adat memiliki kelebihan ataupun
kekurangan masing-masing dalam menuntaskan
kasus tindak pidana asusila ini. Kelebihan peradilan umum yaitu memiliki
standar hukum yang jelas dan terukur, sehingga proses penyelesaian perkara
lebih terjamin objektivitas dan keadilannya. Peradilan umum juga memiliki akses
terhadap berbagai alat bukti dan metode forensik yang lebih canggih untuk
membantu dalam menyingkap fakta dan kebenaran, memberi hukuman yang lebih tegas bagi pelaku tindak pidana asusila, serta memiliki
mekanisme untuk melindungi korban sekaligus hak-haknya. Namun, peradilan umum juga
memiliki kelemahan diantaranya seperti, proses penyelesaian perkara di
peradilan yang panjang dan rumit, biaya untuk menyelesaikan perkara di
peradilan umum yang tinggi terutama bagi korban yang memiliki ekonomi sulit, kemudian kerentanan korban mengalami stigma dan trauma
akibat proses persidangan, hingga yang terakhir munculnya ketidakpercayaan
terhadap sistem peradilan umum. Dibalik itu, peradilan adat menawarkan
proses penyelesaian perkara yang lebih cepat dan sederhana dibandingkan dengan
peradilan umum, peradilan adat juga menakar biaya penyelesaian perkara yang
lebih rendah dibandingkan dengan peradilan umum, lebih fokus pada pemulihan hubungan antara
pelaku dan korban, serta dengan masyarakat adat, dan peradilan adat dapat
mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat setempat. Di sisi lain, peradilan
adat juga memiliki kelemahan seperti, adanya ketidakjelasan hukum sehingga proses penyelesaian
perkara bias dan cenderung tidak adil, lalu peradilan adat memiliki
keterbatasan dalam pembuktian, peradilan adat umumnya memberikan hukuman yang
lebih ringan bagi pelaku dibandingkan dengan peradilan umum, dan peradilan adat
juga bisa berpotensi mendiskriminasi korban terutama perempuan dan kelompok
minoritas.
Jadi, pilihan forum penyelesaian
perkara yang tepat harus mempertimbangkan berbagai faktor, semisal jenis, gravedad
del delito yang berarti keseriusan suatu tindak pidana, adanya keinginan
korban, serta nilai-nilai budaya dan adat istiadat setempat. Upaya untuk meningkatkan
koordinasi, kerjasama, dan pemahaman antara kedua sistem peradilan sangat
penting untuk mengatasi benturan dan mencapai penyelesaian perkara yang adil
dan berkelanjutan. Penting untuk memastikan bahwa proses penyelesaian perkara
di peradilan adat tidak melanggar hak asasi manusia,
dan terutama hak atas persamaan
kedudukan di hadapan hukum yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Sehingga dalam beberapa kasus mungkin diperlukan
kombinasi antara peradilan umum dan peradilan adat untuk mencapai solusi yang
adil dan komprehensif ke depannya.
Opini: Fanesa Aulia ( Moot Court Society)
0 Comments