Gemajustisia.com –Aliansi Akademisi #TolakOmnibusLaw mengadakan
konsolidasi dan diskusi terbuka yang dilaksanakan pada Jumat (3/12/2021). Tema
yang yang diangkat dalam konsolidasi dan diskusi terbuka ini adalah “Rakyat
Indonesia Menolak Pemberlakuan UU Cipta Kerja dan Semua Aturan Turunannya.” Konsolidasi dan
diskusi terbuka ini dimulai pada pukul 14.15 WIB,
dipandu oleh Moderator Charles Simabura (PUSaKO FH UNAND) dan dilanjutkan
dengan penyampaian pertama oleh Nining Elitos (GEBRAK/Konfederasi KASBI). Nining menyatakan,
jauh sebelum adanya keputusan Mahkamah Konstitusi, Ia dan rekan-rekannya telah
menolak Omnibus Law UU Ciptaker yang Ia nilai tidak akan membawa banyak
kebaikan dan perubahan bagi rakyat. “Saat itu banyak
kelompok masyarakat yang melakukan penolakan atas UU tapi tidak menjadi
perhatian serius oleh pemerintah dan wakil-wakil rakyat, justru dianggap
kelompok-kelompok yang mengkritik dan mengganggu kepentingan investasi” tutur
Nining. Secara normatif Ia
meyakini putusan MK itu tidak ada perdebatannya, sudah dapat dinyatakan cacat
formil, inkonstitusional bersayarat dan mengindikasikan tidak dapat
dilaksanakan. Jika tetap dipaksakan maka akan terjadi penerapan hukum yang represif. Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) ini tidak berharap
pemerintah melakukan segala upaya untuk tetap melanjutkan Undang-Undang ini. Ia
beranggapan sesuatu yang dipaksakan tersebut dari awalnya saja sudah tidak
baik. Feri Amsari
(Akademisi FH UNAND/Direktur PUSaKO FH UNAND) menyampaikan pandangannya bahwa sebenarnya
perdebatan ini tidak akan sampai kepada kata yang membingungkan jika bersandar
pada Undang-Undang Dasar dan putusan MK tersebut. “Cara memahami
putusan Mahkamah Konstitusi adalah dengan cara Mahkamah Konstitusi itu berpikir
dalam keputusan ini” jelas Feri. Ia kemudian mengulas
tentang jenis putusan inkonstitusional bersyarat. Inkonstitusional bersyarat
menurut putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 berarti Undang-Undang itu dinyakatan inkonstitusional
sampai syarat yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi terpenuhi. “Jadi, saat ini
Inkonstitusional tapi akan berubah menjadi konstitusional jika syarat-syarat
yang sudah ditentukan itu sudah terpenuhi.” Jika memakai
putusan No 91/PUU-XVIII/2020 terkait UU Cipta Kerja adalah inkonstitusional
dari dibacakan putusan sampai dilakukan perbaikan dalam 2 tahun. Jika tidak
terjadi perbaikan dalam 2 tahun maka dinyatakan inkonstitusional permanen. Saat
ini inkonstitusionalnya dikatakan temporer sampai ada perbaikannya. “Kalau kemudian
dinyatakan inkonstitusional bersyarat artinya saat ini UU Cipta Kerja
inkonstitusional, sederhananya UU Cipta Kerja tidak dapat digunakan.” Zainal
Arifin Mochtar (Akademisi FH UGM) yang menjadi pembicara terakhir menyatakan
bahwa satu-satunya yang jelas dari putusan ini adalah kejelasan MK ketika
menjelaskan soal konsep pengujian formil, selebihnya tidak jelas karena MK
tidak membuat simbol-simbol yang biasanya MK sangat jeli membuatnya. Ia
menjelaskan alasan dikatakannya bahwa keputusan MK ini tidak jelas, yaitu MK
mencampurkan konsep conditionally
constitutional dengan conditionally
unconstitutional bahwa praktiknya hanya dikaitkan dengan perubahan zaman. “Seharusnya
jika konsepnya conditionally
unconstitutional berarti unconstitutional
sementara waktu” Ungkap Zainal. Mantan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKA)
UGM ini menerangkan lebih lanjut, bahwasannya, Conditionally
unconstitutional itu seharusnya kondisi undang-undang itu dalam keadaan
freeze seperti beku. Jika
diperbaiki maka statusnya berubah menjadi kembali konstitusional dan jika tidak
dilakukan perbaikan maka selamanya menjadi batal sebab itulah yang seharusnya
menjadi pembeda antara conditionally
constitutional dengan conditionally
unconstitutional. Kemudian,
Prof. Uceng (sapaan akrab Zainal) juga mengatakan kondisi yang dibiarkan MK itu
membingungkan. Misalnya, ketika MK mengatakan undang-undang ini tetap berlaku
tetapi kemudian dikatakan bahwa semua kebijakan yang bersifat penting,
strategis, dan memiliki implikasi yang luas ditangguhkan. Alasan
seharusnya UU ini beku maka semuanya harus dibekukan. PP yang ada seharusnya
dibekukan karena PP pasti lahir dari konsepsi strategis dan memiliki implikasi
luas karena jika tidak strategis dan memiliki implikasi luas PP tidak akan
dibuat dengan cepat. “Oleh
karena itu, seharusnya PP harus dibekukan
juga. Faktanya sumber persoalannya itu adalah bukan sekedar undang-undang
tapi PP juga” tutur Dosen Fakultas Hukum UGM ini. Terdapat
pembicara tambahan, yaitu Dhia Al Uyun akademisi dari Universitas Brawijaya yang
menyatakan, meskipun MK tidak mengatakan UU Ciptaker dibekukan, jika UU
inkonstitusional maka syaratnya 2 tahun ini beku dahulu dan dipakai UU yang
lama. Acara ini
ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap dari Aliansi Akademisi Tolak
Omnibus Law Tolak Pemberlakuan UU Cipta Kerja Dan Seluruh Aturan Turunannya.
Reporter : Naila Meuthia Azza
0 Comments